top of page

by Renate Septiana Widiaputri, International Relations 2016

Relevansi ASEM dan Indonesia terkait Pembangunan Infrastruktur Kelautan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia

Dewasa ini, hubungan aktor-aktor internasional memiliki peleburan dan keterikatan yang sifatnya lebih soft approach, menjalin konektivitas antar aktor supaya mencapai kepentingannya masing-masing tanpa merusak esensial dari nilai hubungan itu sendiri. ASEM (Asia Europe Meeting) hadir menjadi salah satu ‘fasilitator’ dalam konektivitas antara dua benua, yakni Asia dan Eropa melalui dialog antarpemerintah (intergovernmental dialogue). ASEM itu sendiri memiliki tiga pilar yang mendasari relasi yang terjalin antarnegara, yakni politik, ekonomi finansial dan sosial budaya.

            Potensi kelautan Indonesia yang besar, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dan letaknya yang secara geografis berada di antara dua benua dan dua samudera, tentu menjadi keunggulan Indonesia dalam menjalin hubungan dengan negara lain, tak terkecuali melalui ASEM. Keunggulan inilah yang menjadi salah satu fokus program Nawa Cita pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Cita-cita ini terdiri atas lima pilar, yakni pertama budaya maritim, kedua ekonomi maritim, ketiga konektivitas maritim, keempat diplomasi maritim dan kelima keamanan maritim (Darono 2017). Berbagai upaya dikerahkan dalam mengintegrasi baik ranah domestik maupun hubungan luar negeri; seperti keselarasan lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsi dan praktiknya dalam satu misi Indonesia sebagai poros maritim dunia sesuai dengan lima pilar yang ada dan juga adanya keselarasan pandangan bahwa transportasi jalur laut dunia merupakan vitalitas negara dalam rangka menyokong kebutuhan negara: dalam perekonomian, energi dan keamanan.

         Indonesia berada pada salah satu jalur laut terpenting di dunia. Transportasi dan infrastruktur kelautan dianggap penting dan menjadi salah satu hal fundamental yang harus dibenahi dan dikembangkan. Supaya hubungan maritim terjalin secara lancar, salah satu program yang dikembangkan adalah tol laut. Program tol laut ini dimaksudkan sebagai jalur bebas hambatan dalam pendistribusian logistik. Kelancaran pendistribusian ini diharapkan dapat menekan angka biaya logistik yang terus meningkat hingga 15 persen untuk setiap transaksi yang berlangsung. Di lain sisi, negara lain dapat menekan angka tersebut hingga 7 persen (Darono 2017, 117). Penekanan biaya logistik ini pun dapat ditekan salah satunya dengan pemerataan pembangunan infrastruktur kelautan yang ada, serta optimalisasi keamanan kelautan di perbatasan-perbatasan negara dari piracy, di samping perlunya pemangkasan waktu berlabuh (dwelling time) di pelabuhan. Tentunya, semua hal ini tidak dapat terlaksana secara instan dan membutuhkan biaya serta peran serta dari berbagai aktor guna terjalinnya program tol laut ini.

             ASEM menjadi salah satu media baik bagi pemerintah Indonesia maupun negara mitra lainnya (terutama Eropa) untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Indonesia menjadi ‘tanduk’ percontohan bahwa konektivitas transportasi laut pada masing-masing negara mitra perlu dieratkan, supaya ada stabilitas ekonomi, kooperasi, dan keamanan dalam kelancaran transportasi logistik. Relevansi antara ASEM dan Indonesia terkait transportasi laut terjalin secara intensif dalam pertemuan ASEM – TSOM (Transport Senior Official’s Meeting) pada 2017 lalu di Bali, di mana pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Bali yang pada intinya terbagi menjadi dua pokok: pertama, merupakan suatu hal penting bagi Asia dan Eropa yang tergabung dalam kerangka kerja ASEM untuk meningkatkan kerja sama dalam sektor transportasi untuk mendukung dan mengoptimalisasi konektivitas individu maupun sektor perdagangan tanpa hambatan di semua wilayah Asia dan Eropa, terkhususnya mitra ASEM. Poin pertama ini tertuang pada poin deklarasi yang kedua (acknowledging). Kedua, menekankan pada mendorong para mitra ASEM untuk mengembangkan dan mengoptimalisasi moda transportasinya (terutama laut) untuk memastikan kualitas guna mencapai akses transportasi yang terjangkau dan adil bagi seluruh kalangan dengan adanya peran serta dari berbagai pihak, seperti ada peran serta swasta melalui skema Public Private Partnership sehingga para mitra dapat mempercepat pembangunan infrastruktur terutama transportasi. Poin kedua terdapat dalam butir-butir deklarasi yang keempat hingga kesepuluh, yaitu underlining, emphasizing, further underlining, recognizing, further recognizing, taking into account, dan stressing (ASEM 2017).

            Deklarasi ini menjadi salah satu tonggak kerja sama dan konektivitas transportasi maritim global, terkhusus negara-negara mitra Asia dan Eropa. Di sinilah Indonesia hadir sebagai Global Maritim Fulcrum dengan program tol yang laut, di mana dalam beberapa tahun terakhir Indonesia dapat menunjukkan citra ketegasan dan keseriusan dalam menangani masalah piracy dengan penenggelaman kapal. Hal ini menjadi sorotan dunia selain juga Indonesia berhasil memangkas dwelling time; dari yang sebelumnya memakan waktu selama seminggu menjadi tiga hari. Tentunya pemangkasan ini perlu terus dioptimalkan supaya efisiensi terus bisa diciptakan dalam masalah perizinan berlabuh, dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur kelautan seperti pelabuhan serta penambahan kapasitas pelabuhan.

            Tindak lanjut dari pertemuan TSOM yaitu Indonesia menerapkan pembangunan infrastruktur kelautan berbasis ramah lingkungan dengan memperhatikan isu emisi gas kaca dan Paris Agreement supaya tercipta Sustainable Development Goals (SDGs) dalam tatanan kemaritiman dunia. Ini menjadi inisiasi kuat akan adanya kerja sama Green Shipping Technology antarsesama mitra ASEM (HUBLA 2018), di mana Indonesia menjadi aktor utama untuk pelayaran di Asia Tenggara dalam penerapan pelayaran ramah lingkungan dan emisi gas. Mitra Eropa sendiri berperan penting sebagai investor baik untuk dana maupun teknologi supaya ide yang selama ini Eropa bawa, yakni isu lingkungan, dapat tercipta melalui transportasi laut yang ramah lingkungan.

            Intinya adalah ASEM menjadi salah satu fasilitator diskusi Indonesia dengan negara mitra ASEM lainnya dalam mengintegrasikan kepentingan terkait transportasi laut yang berbasis ramah lingkungan melalui pertemuan TSOM dan pertemuan lainnya. Di waktu yang bersamaan, momentum ini dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mencapai kepentingannya; yakni membentuk citra tegas dan serius menjadi poros maritim dunia. Di lain sisi negara mitra Eropa dapat menyebarkan ide peduli terhadap isu lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan kepada mitra-mitranya di Asia, terkhususnya Indonesia. Meski demikian, masih perlu keselarasan pemahaman terhadap pentingnya transportasi laut untuk menyokong stabilitas ekonomi, keamanan, energi, dan juga stabilitas hubungan antarnegara mitra ke depannya.

References

ASEM, Asia-Europe Meeting. Bali Declaration : The Declaration of the 4th ASEM Transportasi Ministers' Meeting on Bridging Asia and Europe through Integrated Connectivity and Synergized Regional Strategic Plans. Declaration, Bali: Asia-Europe Meeting, 2017.

HUBLA, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Terapkan Green Shipping Technology, Indonesia Ajukan Kerjasama Teknis dengan Negara Anggota ASEM. Jakarta, Mei 02, 2018.

Darono, Probo. "Poros Maritim Dunia sebagai Pendekatan Strategi Maritim Indonesia: Antara Perubahan atau Kesinambungan Sinergi?" . Global & Strategis Th. 11 No.2, 2017: 114.

bottom of page